pada fajar yang tak lelah menyambut
pada mentari yang tak lelah menyingsing
aku hadir pada suatu masamu
merenung diri ketika senyum menghampiri saat mata memandang engkau tumbuh bagai kelopak bunga matahari,
tertunduk sepi ketika hati menangis saat tubuhmu begitu rapuh menahan terpaan amuk badai yang tak berteman dengan kedamaian
wahai sang surya,
yang berbeda bukan pada langit yang slalu membiru
yang berbeda bukan pada bumi yang setia menghampar
dan yang berbeda bukan pada prilaku hati mereka yang hadir silih berganti,
namun yang berbeda hanya ketika akal dan hati ini mulai kehilangan kemurnian nafas indahmu dulu
dan hari ini aku berjumpa pada seratus tahun nafasmu
tak banyak ruang hati ini harus menghadirkan selaksa harapan agar engkau segera memenuhi segala sisi kebaikan dunia
karena kutahu sarat bebanmu melampaui kenyataan dirimu saat ini
yang kumau sekedar engkau kembali memaknai keindahan kelahiranmu
kelahiran yang mencercahkan harapan setiap insan,
kelahiran yang mendamaikan segala kegundahan,
bagai hangat mentari yang menghampiri sejuknya hujan tuk menghadirkan keindahan warna spektrum pelangi
engkau lahir dari kenyataan kebaikan perubahan
engkau lahir dari kesungguhan amal
engkau lahir dari kesederhanaan kecerdasan akal dan hati
dan engkau lahir dari kesucian niat
maka memaknaimu setelah seratus tahun helaan nafas adalah
mengembalikanmu pada setiap kenyataan, kesungguhan, kesederhanaan dan kesucian niat itu ...
agar sang surya tetap bersinar
tuk slalu menghidupkan yang hidup,
dan menghidupkan yang tlah mati ...
[Bandung, 17 November 2012 - untuk persyarikatanku]