Aal Izz Well!

Posted by Nuke1992 | 0 comments»









sejenak, keseimbangan orkestra alam seakan bagai angin lalu tanpa rasa dan makna
lalu burung-burung dan dedaunan menyiratkan kepada alam tentang keindahan suara-suara merdu nan menentramkan hati

sesaat, tanah-tanah lapang dan ladang membuka diri tuk menggelar panggung kehidupan ...
dan laut pun bersegera mengerdipkan mata biru nakalnya yang mengisyaratkan kerinduannya menyambut mata air turun dari bukit cinta ...

bahkan, awan yang menari di atas langit sana pun kemudian bercerita tentang kesungguhannya menghadirkan hujan ...

tiba-tiba nurani diri berujar: "lalu kepada siapa dikau akan kembali wahai sang khalifah sejati?"

lalu aku beranjak mengadu pada siang ketika malam memeluk lemahku ... ketika angin mulai menyapa sepi, hembusan lembutnya membangkitkan sadarku. Karena tiadanya adalah hadirnya, dan karena adanya menyadarkan keniscayaan tentang arti sebuah ketiadaan ...

Dan ketika jejak perjalanan hidup menyisakan episode berbeda, tanah menghampar selalu menjadi saksi bergetarnya hati dalam indahnya kebersamaan ... segalanya tak lain karena kita menyatu dalam rahim sang bunda ...

lalu, kudengar dia menutup mata mengiringi sahaja hati tuk bercerita dengan bahasa wanitanya ...

kurasakan, dia merebahkan diri pada malam yang menusuknya ... bahkan ketika cahaya hati ramah menyapanya, dia tetap menangis dalam khilafnya ...

lalu aku pun berpesan: "lupakanlah sejenak keangkuhan diri yang slalu menjeratmu, agar gelombang cinta tak menyeretmu menemui jalan buntu tak berarah. Bahkan dalam kesedihanmu kau tak sadarkan diri bahwa air mata yang kau runtuhkan ke bumi menjadi penyejuk hati bagi jiwa yang lain ..."

sesaat pula dia membaca lukisan hati seorang pria yang sedang belajar menggoreskan pena kehidupan, dan dia tertegun ketika pria lemah itu menata gerakan jemarinya tuk menuliskan pesan:

"aku kehausan tak terkira pada malam panjangku, aku merindu pada sesaat hening malammu, dan aku terlelap pada sentuhan tak berarah malam-malamnya ...

engkau mengalihkan wajah pada waktu yang mengacuhkanmu. ketika jingga sang surya berlalu melewati batas sadarmu, sejenak tatap matamu tak berkedip mengimbangi sesal lalu tergesa menembus kerinduanmu pada larutnya kehangatan hidup ...

duhai senja yang menenangkan, aku enggan lambaikan tangan ini tuk melepas mentari yang kau ajak beranjak meninggalkan kehangatan hujan ... aku ingin mencukupkan diri pada siang yang menjagaku, karena kini malam tak terlihat lagi indah pada damai jiwaku ...

aku kembali gemetar menyapa nafasku ... satu sisi jiwanya terasa semakin kuat mengepakkan sayap-sayap sucinya tuk terbang jauh menembus langit-langit keabadian ... sedangkan sisi yang lain masih terdekap erat oleh hamparan bumi yang semakin melemah ..

bahkan keangkuhanku melampaui kehati-hatian langkah-langkah pesan awalmu ... saat itu aku berlari terlalu kencang, seakan kerinduan pada asalmu menjadi tak tertahankan"

kemudian ... senyum dan air mata kemudian menari dalam damai hatinya ketika pria itu menyusun kesederhanaan bahasa:

"cinta seharusnya mengenalkan kepada insan tuk belajar memahami perbedaan warna keinginan kemudian bersegera menatanya menjadi sebuah lukisan hidup yang indah dalam kebersamaan ...

Aku mencintaimu karena aku ingin mencintaimu, bukan karena sekedar harapku engkau kan mencintaiku. Karena kebaikan cinta diwujudkan bukan oleh kenyataan harus saling memiliki, namun diwujudkan oleh ketulusan mencintai. Namun aku akan berserah diri pada Tuhan yang menciptakan waktu untukku dan untukmu. Itu saja."

wahai aku, kau dan dia ...
biarlah cakrawala itu tetap suci menyatukan bumi dan langit ... dia kan datang dalam sejuknya pagi, dia tergores tegas ketika siang tiba, dia beranjak ketika senja menjelang, dan dia pergi dalam malam yang menentramkan ... hingga seluruh insan tersadar bahwa dia slalu menyatu bersama langit dan bumi yang penuh dengan kesabaran dan keteguhan menjaga nilai-nilai indahnya ...

0 comments: